Semoga kita bisa belajar bersama, semoga tidak terjadi kesalahfahaman di antara kita. Jika pun itu terjadi, semoga kita bisa saling memaafkan dengan tidak menyisakan rasa dendam dan sakit hati. Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah di mana-mana.
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Eknath Eswaran, yang mana buku ini merupakan salah satu koleksi dari buku yang saya miliki, dan bertema spiritual. Apa yang disampaikan oleh beliau, Eknath Eswaran dalam buku ini patut di apresiasi. Selain mengingatkan potensi dasar kita, juga menambah wawasan. Untuk memahami pesan para mistikus, para bijak, dan orang-orang suci kita hendaknya bisa memulainya dengan fikiran dan hati yang terbuka.
Karena jika hati dan fikiran kita tidak cukup terbuka, apalagi dengan bekal doktrin dan dogma yang di cekoki kepada kita selama ini, akan sangat sulit sekali kita akan melihat kebenaran dari sisi mana pun, bukankah wajah-Nya ada di mana-mana?
![]() |
| courtesy : internet |
"Kata dharma, hukum, berasal dari kata dasar dalam bahasa Sanskerta; dhri, artinya mendukung. Yang mendukung kehidupan, menurut para mistikus, adalah prinsip kesatuan; yang menghancurkan kehidupan adalah lawannya, yaitu keterpisahan.
Secara lembut dan penuh pengertian, para mistikus mengatakan kepada kita bahwa kita semata-mata melupakan kesatuan ini. Ini bukan berarti kita menyangkalnya, tetapi kita semata-mata telah melupakannya. Ada sebuah kisah indah dalam tradisi Hindu (sedikit tambahan bahwa kata Hindu berasal dari kata Shindu, yakni negeri yang memiliki 5 anak sungai yang mengalir. di mana wilayah kita Nusantara juga merupakan bagian dari peradaban yang sama), menggambarkan hal ini. Seorang pangeran muda diculik oleh sekawanan bandit, dibawa ke hutan, dan dibesarkan di sana, dan pangeran itu mempelajari kehidupan para bandit dalam merampok dan membunuh. Pangeran muda itu sama sekali melupakan warisan kebangsawanannya dan seluruh sifat-sifat kekerajaannya. Dia hidup seperti seekor binatang buas yang menyerang dan membunuh tanpa rasa bersalah.
Suatu hari guru spiritual keluarga kerajaan melewati hutan itu dan langsung mengenali anak muda itu. Dia memiliki ciri-ciri yang sama seperti rajanya, hidung yang sama, dan gaya berjalan yang sama pula, namun perilakunya sangat membahayakan orang lain. Lalu guru spiritual itu, dengan cinta kasih yang besar mengalir dari hatinya, mendekati anak muda tadi dan berkata, "Yang Mulia," Anak muda itu tak mengerti. Dia berkata,"Siapa Yang Mulia itu?" Dia berharap orang lain berkata, : kau si macan," "kau sang raja rimba."
Dia benar-benar telah lupa. Sang guru spiritual itu mengulang,"Saya berbicara dengan Tuan, Yang Mulia." Anak muda itu berkata, "Aku bukan 'Yang Mulia'-mu; aku penjahat. Suruh aku merampok, mintalah aku menghabisi nyawa orang, aku bisa melakukannya. Aku adalah penjahat Bonnie dan Clyde India kuno." karena tidak sedikit pun terpukul oleh jawaban itu, dan keyakinannya pada sifat manusia tak tergoyahkan, sang guru spiritual itu mendekati anak muda tadi, lalu merangkulnya, dan memulai menceritakan masa kecil anak muda itu--bagaimana ayahnya biasa memanggulnya di pundaknya, bagaimana kehidupannya di jalani di istana.
Lambat laun sang pangeran mulai mengingatnya. Dia berkata, "Terus, teruskan!" sang guru spiritual melanjutkan cerita-cerita lucu seputar masa kanak-kanaknya di istana. Akhirnya pemuda itu berkata, "Sekarang aku baru ingat. Aku bukan orang jahat atau biadab. Aku hanya lupa. Kau telah membantuku mengingat kembali, kau adalah temanku yang paling hebat." Dan pangeran muda itu pun pulang ke istana menemui ayahnya, sang raja".*
Cerita yang di paparkan di atas mungkin salah satu kisah hidup kita, anda dan saya. Oleh sebab itu hendaknya kita bisa mengembangkan potensi dasar yang kita memilki., yaitu kebaikan. Akhir-akhir ini kita melihat pemberitaan diberbagai media bahwa terjadi arus pengungsian dari negara-negara yang mengalami konflik dan perang. Para pengungsi ini berharap bahwa negara yang mereka tuju dapat memberikan mereka keamanan dan kenyamanan. Demikianlah telah hilangnya rasa kemanusiaan yang disebabkan oleh konflik yang tidak berkesudahan karena manusia melupakan potensi dasarnya sebagaimana yang di sampaikan oleh penulis buku ini.
Semoga bisa menjadi renungan kita bersama.
*(EKNATH ESWARAN, CLIMBING THE BLUE MOUNTAIN, Panduan untuk Perjalanan Spiritual. Gramedia Pustaka, Jakarta. 2001,halaman 41)

